Burning (2018): Amarah, Ambiguitas dan Subjektivitas Realita

Burning (2018) adalah film pertama Lee Chang-Dong yang saya tonton. Berangkat dari ulasan berbagai film influencer dan orang-orang yang saya ikuti di Twitter dan hanya berbekal membaca secuil sinopsis, jadilah saya menonton film berdurasi 148 menit tersebut.

Sinopsis:

Jong-soo runs into Hae-mi, a girl who once lived in his neighborhood, and she asks him to watch her cat while she’s out of town. When she returns, she introduces him to Ben, a man she met on the trip. Ben proceeds to tell Jong-soo about his hobby.

Premis yang sederhana dan durasi yang panjang ini sejujurnya membuat saya merasa bosan. Film misteri ini berlangsung sangat lamban, dari pertemuan Jong-soo & Hae-mi, lalu bertemu Ben dan saat Ben menceritakan hobinya terjadi dalam interval yang panjang. Selain itu ketiga tokoh utama juga tidak terlalu berkesan, terlalu commoners. Termasuk Ben yang anak orang kaya dengan segala hidup gemerlapnya, namun gerak geriknya lebih terlihat seperti karakter Christian Bale di film American Psycho.

Namun disitulah saya salah.

Film Lee Chang-Dong ternyata memang terbiasa untuk mengangkat karakter-karakter commoners dan lebih bermain dengan apa yang karakter tersebut rasakan melalui pengalamannya mengarungi berbagai konflik.

Film ini merupakan film misteri yang sesungguhnya. Jika kamu sudah pernah nonton film Memories of Murder (2003) ya kurang lebih endingnya sama, kamu tidak akan pernah tahu siapa pembunuhnya karena bukan itu inti yang ingin disampaikan.

Saya harus bilang, bahwa ketiga karakter ini adalah salah satu gambaran paling relevan dengan generasi saat ini. Sejak kecil kita dininabobokan dengan mimpi tentang arti kesuksesan adalah dengan dengan mempunyai banyak uang dan mempunyai mobil dan rumah, seperti Ben. Perbedaannya Ben terlahir dengan segala privilegenya sebagai anak orang kaya, hal ini tentu saja tidak terjadi pada dua karakter utama lainnya. Mereka harus berusaha hidup dari satu kerja serabutan, ke kerja serabutan lainnya demi memenuhi mimpinya, seperti Hae-mi, yang berhasil menabung (dan tentunya berhutang sana-sini) untuk melakukan operasi plastik & traveling ke Afrika dimana Ia bertemu Ben dan meninggalkan Jong-soo dalam kondisi relationship yang sama ambigunya seperti hubungannya dengan Ben.

Awalnya, relantioship ambigu yang tersirat di antara ketiga karakter ini hanya sebatas kecemburuan sosial & status ekonomi saja. Namun, saat Hae-mi menghilang tanpa jejak kecemburuan ini justru berubah menjadi konflik & obsesi yang semakin menajam hingga klimaks pada akhir film.

***

Beberapa waktu lalu, sosial media sempat ramai dengan viralnya komik strip yang dibuat oleh Toby Morris yang bisa dibaca di sini . Intinya, komik ini memicu perdebatan bahwa jika hidup diibaratkan lari marathon, orang-orang seperti Richard sudah terlahir di setengah bahkan di dekat garis finish bernama kesuksesan. Berbeda seperti Paula yang harus bekerja keras sekedar untuk menyambung hidup.

Semakin bergulirnya opini tentang komik strip tersebut. Saya semakin memahami bahwa realitas setiap orang berbeda-beda (subjektif). Sampai kapanpun, Ben tidak akan pernah memahami bagaimana orang-orang seperti Hae-Mi dan Jung-Soo bertahan hidup kerja keras dengan kerja serabutan. Bagi Ben (mungkin) menjadi suksesor bisnis warisan orangtua dan membuat bisnis tersebut tetap sukses adalah hasil kerja kerasnya selama ini, dan (mungkin) Hae-Mi dan Jung-soo merasa bahwa menjadi suksesor bisnis adalah pekerjaan yang dirasa gampang.

Pengalaman hidup yang berbeda menjadikan ketiga tokoh ini mempunyai pandangan yang berbeda, bagaimana tidak? kata kerja keras saja sudah subjektif. Namun, privilege memang bukan dongeng belaka. Semakin banyak uang yang kita punya, maka akses untuk hal-hal krusial seperti kesehatan dan pendidikan akan semakin mudah. Wajar sekiranya orang-orang seperti Hae-Mi dan Jung-Soo cemburu dengan Ben yang bisa hidup seimbang antara bekerja, berpesta & hidup sehat, sedangkan mereka? Mungkin pergi ke gym saja sudah termasuk kategori membuang-buang uang.

Dalam film tersebut, Lee Chang Dong sepertinya ingin mendorong kecemburuan sosial dan hidup dalam ambiguitas ke titik paling ekstrim, hingga manusia hilang akal. Subyektifnya realita yang dialami para tokoh membuat ketiganya tidak akan pernah mengerti satu sama lain, hal ini dipertajam dengan ambiguitas yang terjadi disepanjang film. Bagi banyak orang waras, hidup dalam ambiguitas sama saja hidup dalam ketidakpastian, tidak punya jawaban pasti terhadap apapun seperti yang dialami Jung-Soo. Kecemburuan dan ambiguitas inilah yang pada akhirnya menjadi bensin dan membakar amarah Jung-Soo yang selama ini terpendam.

***

Lalu, apakah film Burning relevan dengan apa yang terjadi saat ini? Tentunya. Jika diperhatikan, banyak sekali pemimpin yang berambisi untuk berkuasa dan pada akhirnya mempolarisasi rakyat untuk mencapai tujuan: munculnya gerakan extreme right wing yang kental dengan nilai-nilai white supremacy, gerakan antifa (anti facist) sebagai jawaban extreme leftist yang sama-sama menggunakan kekerasan, referendum Brexit yang didasari prasangka, dan kampanye diskriminatif yang menjadikan agama sebagai landasan kebencian terhadap sesama. Hal ini membuat kubu tengah tidak lagi populer, bahkan menjadi sasaran kebencian dari dua polar.

Dikarenakan privilege dan subyektivitas realita yang berbeda, kecemburuan golongan yang mempunyai kesamaan tertentu menjadi mudah dibolak-balik sesuai apa yang mereka mau dengan tujuan yang sama: membangun kebencian, menjadikannya amarah dan membuat orang tidak lagi bisa berpikir waras, hanya karena pengalamannya terhadap sesuatu berbeda dengan orang lain sehingga menjadikan hal tersebut fakta yang valid dan lantas dengan mudahnya memaki ‘goblok’ & ‘dungu’ terhadap orang asing di dunia jejaring sosial dunia maya.

Legally Blonde: Film Feminis Favorit Sepanjang Masa

Chick Flick

(a motion picture intended to appeal especially to women)

Beberapa hari ini, gue lagi agak jenuh dengan film keluaran hollywood yang kebanyakan bertema superhero, science fiction atau bahkan hipster ala-ala millenial. Film-film itu menarik sih, cuma gue sedang merindukan nostalgia akhir 90an dan awal 2000an dimana film-film bertema chick flick sedang jaya-jayanya. Walaupun definisi merriam webster chick flick adalah film yang dibuat khusus untuk menarik perhatian penonton perempuan, menurut gue chick flick sendiri adalah film-film yang mengisahkan kehidupan perempuan dari berbagai range usia yang memberikan masukan-masukan yang menarik.

Pada pertengahan tahun 2000an  film-film mulai mengangkat banyak cerita berdasarkan komik super hero (DC dan Marvel khususnya) dan yang bertema sci-fi adalah sesuatu yang perlu disambut dengan riang gembira. Kapan lagi kita bisa melihat karakter-karakter favorit kita benar-benar hidup? Secara teknologi juga sudah bisa mewujudkannya dengan baik. Bagi para penyuka komik dan kutu buku yang biasa di sebut Nerd ini sedang mengalami orgasme dan menjadi anak-anak populer di kalangannya. Tapi di lain pihak film bertema chick flick semakin padam. Terakhir kali gue nonton film bertema chick flick adalah film Ghostbusters (2016) yang sangat kontroversial di kalangan fanboy  Ghostbusters yang diperankan oleh Bill Murray dkk di tahun 80an ini. Bagaimana tidak, sutradara Paul Feig mengganti para Ghostbusters keren itu dengan sekumpulan perempuan dan mereka tidak seseksi Megan Fox!. Laki-laki keren itu diganti dengan sekumpulan  perempuan yang sok lucu, gendut dan lesbian. Kebencian di kalangan fanboy original Ghostbusters merajalela di forum-forum website hingga Youtube, dan percayalah hal tersebut bagi gue sangat menjijikan karena mereka nggak segan-segan mengirimkan tweet dan postingan bernada kebencian langsung ke aktris yang memerankan film tersebut, sampai ada salah satu aktris yang memerankan Patty Tolan (Leslie Jones) menutup akun twitternya saking banyaknya tweet kebencian yang ditujukan padanya. Tapi saat gue nonton,  cacian dan ejekan yang ditujukan ke aktris-aktris di Ghostbusters (2016) itu nggak masuk akal, bagi gue mereka malah sukses menghadirkan humor yang perempuan banget dan tetap terlihat badass dalam menyelamatkan dunia.

Kembali ke topik. Karena merindukan film chick flick khas akhir 90an-awal 2000an seperti Mean Girls, 10 Things I Hate About You, Sisterhood of the Travelling Pants, dll. Gue memutuskan untuk menonton kembali film Legally Blonde (2001), dan itulah magisnya saat kita menonton kembali sebuah film. Kita bisa mandapatkan pandangan baru tentang makna dari film tersebut. Setelah menonton kembali, ternyata film Legally Blonde adalah salah satu film feminis yang paling menarik dengan penyajian yang sangat ringan nge-pop dan humor perempuan yang nggak kacangan.

Kalau saat ini dunia sedang mengalami Xenophobia (Ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing) maka Elle Woods (nama tokoh utama di Legally Blonde)  adalah salah satu simbol kecil tentang prasangka manusia. Sebagai perempuan yang menyukai fashion, berambut pirang dan besar di kalangan keluarga kaya di California, label dumb blonde (perempuan berambut pirang bodoh) pun melekat padanya. Hal yang paling menarik adalah sebenarnya Elle Woods merupakan salah satu mahasiswi berprestasi dengan IPK 4,00, aktif di organisasi dan dicintai oleh semua teman-temannya (populer).

Cerita tentang Elle Woods dimulai dengan premis yang sangat sederhana: Elle diputusi pacarnya, mahasiswa Fakultas Hukum Harvard yang berasal dari kalangan keluarga senator turun-temurun Amerika yang menganggapnya ‘tidak serius’ untuk dijadikan calon istri. Elle yang awalnya ingin merebut kembali hati mantan pacarnya, menemukan makna dan tujuan baru saat ia diterima menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Harvard. Hari pertama dirinya menginjakkan kaki di Harvard, dia sudah diejek dengan panggilan ‘Malibu Barbie’. Ejekan ini terus berlanjut dan membuatnya tidak punya teman sama sekali di Harvard, mantan pacarnya pun tetap menganggap Elle sebagai seorang dumb blonde. Hal inilah yang membuatnya bangkit. Ia ingin membuktikan sejumlah prasangka yang ditujukan padanya semuanya salah. Dia belajar keras untuk menjadi seorang pengacara yang hebat dan dianggap serius namun tetap menjadi dirinya sendiri. Elle melakukan semua itu bukan untuk mengambil hati mantan pacarnya lagi, namun untuk dirinya sendiri. Bahwa ia bisa menjadi lebih daripada apa yang orang-orang sering capkan pada dirinya. Plot film Legally Blonde yang tadinya tentang perempuan menye-menye berubah menjadi perempuan tangguh yang bisa bangkit kembali dari keterpurukan.

Kita hidup di dunia yang penuh dengan pelabelan ini itu kepada hal-hal yang tidak kita mengerti atau malahan kita benci. Sedihnya, hal ini tidak hanya terjadi pada golongan ras atau agama tertentu saja, namun juga pada perempuan. Percaya atau tidak, perempuan dengan profesi yang secara umum didominasi oleh laki-laki seperti pekerja tambang, kenek angkot atau ojek tidak hanya dipandang sebelah mata, namun sering diejek dengan kata-kata kasar bahkan dilecehkan. Hal ini mengingatkan gue saat diantar pulang oleh ibu yang beprofesi sebagai ojek online. Iseng saja gue tanya,

“Ibu suka nongkrong sesama driver ojek?”

dia jawab “Yah, yang mau aja mba. Kadang ada juga yang nggak mau. Nggak suka gitu cewek narik ojek. Apalagi yang (ojek) pangkalan tuh. Beuh, mulutnya udah deh… Saya mah cuek aja apa kata orang, yang penting saya kerja jujur”

Sejujurnya, sampai saat ini gue selalu kagum sama perempuan-perempuan yang terjun ke dunia kerja yang didominasi laki-laki. Karena menurut gue, melawan stereotip bukanlah hal yang mudah, lo harus berani dan bermental baja. Gue, sebagai perempuan yang cengeng ini mungkin akan nangis dan langsung berhenti kerja kalau gue jadi Elle Woods atau ibu ojek, yang sering diejek dengan kata-kata kasar. Itu baru ejekan, gimana kalau pelecehan seksual seperti para pekerja tambang perempuan di film North Country (2005)?.

Seperti kutipan sebuah artikel dari Magdalene (yang judul dan namanya gue lupa), Indonesia adalah negara yang tabu membicarakan seks namun toko-toko yang menjual pil kuat bertebaran dimana-mana. Pelecehan seksual (fisik dan verbal) baik kepada perempuan maupun laki-laki sering kali tidak ditanggapi dengan serius. Kita masih hidup di budaya ‘cowok nggak boleh nangis, nggak boleh ngondek’

‘cewek nggak usah lah ngejar karir, ntar juga jadi ibu rumah tangga’

Sayangnya, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di seluruh dunia. Perempuan Indonesia agak beruntung, kita sudah hidup di era demokrasi dan kebebasan berpendapat. Di belahan dunia lain jangankan wanita karir, bayi-bayi perempuan aja dibunuh karena dianggap tidak menuai profit dan perempuan dewasa dibunuh/ bunuh diri karena mahar perkawinan yang dibebankan ke ayah anak perempuan yang sayangnya banyak datang dari keluarga tidak mampu. Tapi seperti yang selalu ditekankan oleh aktivis feminis lainnya, isu perempuan bukan hanya milik perempuan untuk di selesaikan, isu feminis juga milik laki-laki. Laki-laki yang peduli terhadap perempuan, laki-laki yang mencintai, menghargai perempuan, serta laki-laki yang mempunyai ibu, anak dan saudara perempuan.

Pada akhirnya, bagi gue film Legally Blonde bukanlah sekedar chick flick biasa. Masalah yang dihadapi Elle Woods adalah sekelumit kecil dari masalah yang dihadapi oleh perempuan pada umumnya. Kehadiran Elle Woods adalah inspirasi dan simbol kekuatan perempuan untuk melawan stereotip dan prasangka atas penampilannya. Elle Woods membuktikan bahwa dirinya yang ceria, centil, percaya diri dan suka warna pink ini bukanlah tokoh perempuan menye-menye, ia adalah perempuan kuat bermental baja yang mampu untuk bangkit saat dunia mencoba mengerdilkan dirinya.

This article is dedicated for every boys and men who support, protect and liberate their women. You guys are the real MVPs! 

Belajar Parenting dari Film

Mama selalu menekankan petingnya pendidikan, bukan tentang meraih pendidikan setinggi-tingginya, namun agar anak-anaknya tidak mudah dibodohi orang-orang berkepentingan jahat.

Mama yang berprofesi sebagai guru pun hampir tidak pernah absen curhat mengenai sistem pendidikan di Indonesia yang secara umum pasti sudah paham bagaimana jeleknya. Garis besar dari semua curhatan Mama yang saya tangkap selama ini adalah banyaknya orangtua yang berfikir bahwa pendidikan adalah sekolah formal atau homeschooling dengan tutor handal. Walaupun itu nggak sepenuhnya salah, tapi menurut saya pendidikan paling utama datang dari orangtua.

Saya juga bukan anak dari hasil produksi parenting 24/7, orangtua saya bekerja. Untungnya, saat saya kecil masih banyak tanah lapang, sawah, tayangan anak-anak yang menyenangkan, buku-buku cerita bergambar dan guru mengaji yang baik.

Sebagai calon orangtua, saya juga mempunyai kekhawatiran tersendiri tentang bagaimana membesarkan anak saya nanti. Akan menjadi manusia seperti apa dia?.

Karena saya termasuk orang yang masih malas membaca buku parenting, saya belajar mengenai parenting melalui film. Nggak semua film sih, cuma kalau kebetulan pas nonton film terus ternyata tentang parenting. Sejauh ini, bagi saya ada 2 film paling mengena tentang parenting; The Little Prince dan Captain Fantastic.

Saya masih ingat ketika nonton The Little Prince di bioskop dan menangis tersedu-sedu karena teringat mendiang Akung dan tersadar bagaimana saya melupakan cita-cita saya semasa kecil; menjadi polisi hutan dan pengurus konservasi binatang langka.

Film The Little Prince yang diangkat dari buku karya Antoine de Saint  Exupery ini berhasil mengajarkan saya untuk memahami cita-cita anak-anak, kalau misalnya saya punya anak laki-laki yang bercita-cita menjadi penari balet dan bersungguh-sungguh, kenapa harus saya hentikan hanya karena menari identik dengan perempuan?.

Begitu juga dengan film Captain Fantastic yang sangat amat membuka pikiran saya tentang membesarkan anak. Di film ini, anak-anak si tokoh utama yang masih berumur 8 – 16 tahun sudah hafal bill of rights, mengerti bagaimana politik bekerja (bahwa negaranya dikuasai oleh para pelobby), sudah mahfum mengenai ajaran Karl Marx dan merayakan hari Noam Chomsky dibandingkan hari natal.

Awalnya saya juga mengira itu hanya bisa terjadi dalam film, tapi ternyata nggak juga. Selama kita menganggap sang anak mampu, cerdas dan didukung orangtua yang disiplin dan sabar menuntun, saya yakin bisa.

Di film ini saya belajar tentang pentingnya kejujuran orangtua kepada anak. Dalam sebuah adegan, salah seorang anak dari tokoh utama bertanya:

“Ayah, apa itu pemerkosaan?”

Si Ayah pun menjawab dengan apa adanya, bahwa pemerkosaan adalah tindakan paksa untuk melakukan seks oleh seseorang (yang biasanya dilakukan oleh laki-laki) kepada orang lain (yang biasanya adalah perempuan)

“Apa itu seks?”

“its when a man sticks his penis into woman’s vagina”

“eeew!”

Seorang anak akan terus bertanya mengenai hal yang ingin ia ketahui sampai ia mengerti. Disinilah saya sadar bahwa kita dibesarkan dalam dogma bahwa anak kecil itu nggak boleh tahu apa-apa sebelum umurnya. Saya fikir, nggak ada salahnya bersikap jujur apa adanya terhadap anak, mereka berhak tau apa yang terjadi di kehidupan nyata. Misalnya kenyataan bahwa Ibu Peri di kisah Cinderella itu tidak nyata. Tidak pernah ada yang namanya Ibu Peri atau Cinderella, itu adalah kisah yang dibuat oleh seseorang untuk membuatmu berpikir bahwa perempuan tidak akan bisa menjadi apa-apa tanpa laki-laki tampan nan kaya sebagai suaminya.

Dari dua film tersebut, saya belajar 3 hal:

  1. Jangan pernah menertawakan cita-cita anakmu
  2. Jangan pernah menjadi penghalang bagi cita-citanya
  3. Jangan pernah menganggap anak-anak bodoh yang tidak boleh tahu kehidupan nyata

Mama selalu bilang “anakmu bukanlan anakmu” kutipan Khalil Gibran ini mempunyai makna bahwa walupun dia anakmu, tapi dia bukan milikmu. Dia adalah dirinya, menempel padanya kepribadian dan cara berpikirnya sendiri. Besarkanlah dirinya menjadi pribadi unik yang bisa berpikir kritis dan independen. Jangan mendikte dirinya, apalagi kehidupannya. Orangtua mengajarkan yang baik-baik dan mengarahkan, tapi hidupnya adalah miliknya bukan milik orangtuanya.

Mau sekolah jauh ke Jerman atau menjadi relawan kemanusiaan di Namibia, biarkanlah mereka terbang.

the-little-prince

 

Oleh Mar,

yang belum punya anak dan belum berencana punya.

A Bortion

Warning: Contain a very sensitive topic. If you consider yourself as an orthodox or a conservative, i suggest you to leave this page.

 

Beberapa hari yang lalu gue nonton film berjudul Grandma. Sinopsisnya;

“A misanthropic poet (Lily Tomlin) takes her granddaughter (Julia Garner) across Los Angeles in search of the money she needs to terminate her unwanted pregnancy”.

Film yang gue harap tentang eksplorasi hubungan lintas generasi, ternyata mengambil topik yang serius yakni tentang feminitas itu sendiri, walau cara bertutur ceritanya sangat ringan.

Amerika Serikat sendiri adalah negara yang penduduknya masih banyak yang konservatif dan atau orthodox, namun di lain pihak ‘berusaha keras’ menjadi negara yang modern, berasaskan hak asasi manusia dan kebebasan itu sendiri.

Sebenarnya jika, dilihat lagi permasalahan pada kaum remaja di AS dan di Indonesia tidak jauh; Seks, drugs dan atau kekerasan (fisik maupun verbal). Dua dari tiga masalah ini (seks dan kekerasan) dapat dilihat secara eksplisit maupun implisit di dalam film ini.

But, lets talk about sex.

Di AS yang namanya Sex-Ed udah lama ada, dan terkadang orangtuanya juga ngajarin, misal tentang menstruasi, pentingnya seks dengan alat pengaman untuk mencegah kehamilan dini. Beberapa orangtua di sana bahkan dengan sengaja memberikan stock alat pengaman seperti kondom dan memberikan pil KB ke anak perempuannya. Kenapa? karena mereka menyadari bahwa mereka nggak akan bisa mengawasi anaknya 24/7. And you know how teenagers are; semakin dilarang, mereka akan semakin penasaran atau malah melanggar.

Nah, kalo orangtua di Indonesia masih banyak yang belum berani melakukan itu. Mereka lebih memilih cara preventif dengan mengajarkan anaknya agama, konsep neraka, atau mengajarkan cinta misal saat dia ingin melakukan seks, maka dia harus yakin dan harus paham benar konsekuensi dari perbuatannya, bahwa kemungkinan besar dia akan membuat atau menjadi hamil lalu kemudian dinikahi dan atau harus menghadapi aborsi (yang konsepnya sama seremnya dengan neraka, by the way).

Di era digital ini, pornografi bukan lah hal yang dapat dibendung. Anak dan internet dapat menjadi kombinasi yang mematikan tanpa adanya proteksi dari orangtua. Permasalahannya, nggak semua orangtua menyadari pentingnya untuk tidak memberikan/ melarang anak mengakses gadget yang kontennya tidak terproteksi. Orangtua yang aware, tentu akan melakukan itu. Tapi bagaimana dengan orangtua dari kelas B dan C? tentu kenyataannya beda, karena anak-anaknya main internet di warnet. and you know how warnet are, mereka tidak memproteksi konten apapun. Tapi paling nggak, kamu harus cek anak kamu main ke warnet yang kayak apa; curigai jika warnetnya berbilik, internetnya lambat tapi pengunjungnya banyak, kalau perlu cek tempat penyimpanan foldernya juga. Sounds like hardwork, eh? well, news flash raising children is a hardwork!

Betapapun pemerintah sudah berusaha block banyak situs porno, but does it work? not that much. Kasus kehamilan remaja masih banyak ditemukan di berbagai macam daerah, khususnya di daerah-daerah kelas B dan C. Barusan gue nonton liputan khusus tentang orangtua remaja yang jadi tersangka pembunuhan karena memutuskan untuk menggugurkan kandungan karena mereka ‘nggak siap nikah’, and Yes thats exactly what they said. Yes, their parents knew and No, their parents didnt suggest them to do abortion, they suggest them to get married. Saat ditanya, kedua pasangan tersebut merasa bahwa mereka masih kecil, belum siap nikah dan malu. But hey, at least they both responsible for it, mereka melakukan hubungan seks secara konsensual dan menggugurkan kandungannya karena kesepakatan bersama. Lalu dimana kesalahannya? mereka pergi ke dukun atau ke tempat praktek aborsi ilegal, dan polisi menemukan jasad bayi mereka. Nggak ada yang meninggal, kecuali si bayi. Emang sih, gue nggak nonton sampai habis dan gue nggak tau usia kehamilan si ibu sudah sampai berapa bulan.

Gue melihat permasalahan ini ada di aborsi ilegal tersebut, namun kalo ada yang namanya praktek aborsi ilegal, lalu dimanakah praktek aborsi yang legal? di Rumah Sakit? terus kalo si pasangan ini datang ke RS minta aborsi, dikasih nggak? (these are genuine questions, pertanyaan yang gue benar-benar pengen tau aja). Gue pengen tau, praktek aborsi yang legal itu kayak gimana? kalo prosedurnya gue yakin pasti lebih aman, namun setau gue di Indonesia aborsi hanya boleh dilakukan oleh pasutri ‘legal’ saja.

Di AS yang namanya teen pregnancy itu jumlahnya nggak sedikit. Namun, nggak sedikit juga yang akhirnya ngasih anaknya buat diadopsi, melakukan aborsi, dan malah banyak juga yang akhirnya memutuskan jadi single mom. Tapi, klinik aborsi di sana nggak ditutup-tutupin, nggak ada di gang-gang kecil dan sempit, yang melakukan itu dokter, si pasien harus dipastikan dulu bagaimana psikologisnya misal ada ketakutan berlebihan atau nggak? dia udah yakin atau nggak dengan keputusannya?.

In my ever humble opinion, permasalahan aborsi dan teen pregnanacy itu sebenernya bukan permasalahan moral, tapi permasalahan keluarga, seperti yang berusaha dikatakan dalam film Grandma “people make mistakes”. Apalagi remaja, yang notabene masih mengeksplor jati diri dan kehidupan; who’s trying to fit in and knowing where they are. Praktek aborsi ilegal itu bahaya banget, karena bisa dilakukan oleh kalangan yang bukan dalam bidangnya; dukun, hal ini dapat merenggut nyawa si ibu (dan si jabang bayi tentunya). Berangkat dari itu, menurut gue orangtua mempunyai peran yang besar untuk mengenalkan seks dan segala konsekuensinya kepada anak, cobalah beberapa kali membuka dan melakukan perbincangan secara intim kepada anak, beberapa hasilnya mungkin dapat mengejutkan kita, namun marah bukanlah solusinya, karena akan membuat anak semakin tertutup, instead cobalah untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. Lihatlah permasalahan dari sudut pandang anak, put yourself in their shoes. Nikah di usia muda bukanlah sesuatu yang mudah bagi semua orang.

Pada akhirnya si pasangan remaja itu plus ibu si laki-laki dan pelaku praktek aborsi ilegal akhirnya di penjara atas pembunuhan. Padahal, si Ibu dan pasangan tersebut hanya mencari solusi dari kesalahan yang mereka perbuat dan gue yakin sih, mereka pasti udah belajar dari kesalahan mereka itu. I mean, can you imagine what would happen to that baby, if they decide to get married they didnt even want to do in the first place? he/she may grow up miserably, poorly, uneducated and broken home. Dont you think that is more savage?

Kalo pelaku praktek aborsi ilegal, sudah pasti harus dipenjara, dia bisa membahayakan hidup orang lain. Tapi pertanyaannya, kalau semua praktek aborsi ilegal ditutup, apakah pemerintah bisa menjamin kebebasan (perempuan khususnya) untuk melakukan aborsi terlepas dari umur dan status pernikahan, dan menjamin mereka untuk melakukannya di tempat yang aman dan ditangan profesional (bersertifikat kedokteran)?

 

Melancholia: Semua yang Ditakutkan Manusia

Recently i watched Melancholia by Lars Von Trier.

Sinopsis:

As a planet hurtles toward a collision course with Earth, two sisters (Kirsten Dunst, Charlotte Gainsbourg) cope with the approaching doomsday in different ways.

Ini adalah film kedua Von Trier yang gue tonton setelah Nymph()maniac. Film-filmnya Von Trier bukan untuk semua kalangan sih, gue jamin pasti bakalan banyak orang yang ketiduran atau malahan nggak ngerti.

Apa yang membuat gue suka dengan Von Trier adalah dia bisa menggali karakter tokoh dan pendekatan tentang manusia yang sangat real (nyata). Meskipun semua filmnya Von Trier itu tentang kesedihan dan depresi, dia selalu menyajikan gambar-gambar/ sinematografi yang indah dan captivating banget kayak lukisan. Jadi kayak paradoks.

Anyway, film ini tentang bumi yang menabrak planet lain atau kiamat. Tapi bukan itu yang pengen ia sampaikan. Ada kutipan yang gue lupa dari siapa buyinya begini:

“To live is a luxury, because most of everybody else just exist:” 

Banyak hal yang ada di dunia nyata itu sebenernya silly atau konyol. Kayak bekerja misalnya..hehee

Maksudnya orang bekerja untuk uang dan orang yang udah punya banyak uang itu orang sukses dan orang yang sukses itu pasti bahagia. Padahal menurut gue itu salah. Manusia itu jiwanya suwung (kosong/hampa). Apapun yang manusia punya sejatinya akan selalu merasa kosong. Semacam ada lubang yang nggak akan pernah bisa diisi oleh apapun. Makanya mereka selalu mencari escapism (pelarian diri) agar jiwanya nggak kosong, kayak ngemall, traveling, mendekatkan diri kepada Tuhan (spiritualism), dan lain-lain.

Film dibuka dengan Justine yang sedang depresi ‘terpaksa’ melakukan pernikahan. Dan pada resepsi pernikahannya itulah ia mencapai breaking point akan hidupnya dia. Gue hidup buat apa sih? gue hanya ada, tapi gue nggak benar-benar hidup. Intinya disini Justine sudah jatuh dan terperangkap di kekosongan jiwanya dia. Dia ngerasa apapun yang dia lakukan itu nggak ada artinya, semuanya terasa nggak enak. Tapi saat dunia mendekati kiamat, dia menyambut kematiannya dengan damai.

Berbeda dengan kakaknya, Christine yang kaya raya. Tinggal di kastil bersama suami dan anaknya yang super cerdas. Semua kebutuhannya sudah terpenuhi, tapi saat kiamat datang dia yang paling panik dan paling takut. Walaupun jiwanya tidak kosong karena bisa melakukan banyak hal (escapism) seperti berkuda, mengurus anak, mengurus rumah, berkebun, dll. Urusannya Christine dengan dunia belum selesai karena ia hanya exist (ada), belum hidup.

Pesan yang ingin disampaikan oleh film ini adalah, bahwa mati itu pasti. dan hidup adalah tanggung jawab besar kita sebagai manusia. Tugas manusia di bumi itu cuma satu: berbuat baik.

Berbuat baiklah karena lo hidup, bukan karena takut kematian.

Teruslah kosongkan jiwa karena belum cukup untuk berbuat baik.

Berbuat baik terhadap sesama manusia dan alam.

Film ini simbolis dan bebas diinterpretasi apa saja oleh penontonnya. Itulah ciri khas dari Von Trier. Dia suka berpikir, bersedih melihat dunia dan perilaku manusia. Buat gue, film-film Von Trier selalu bisa ngasih gue pandangan lain tentang manusia, perilakunya dan tentang kehidupan itu sendiri.

Mungkin sebenarnya Lars Von Trier itu filsuf yang menyamar jadi sutradara.

 

5 to 7

Pernah denger kalimat “Cinta itu tidak harus memiliki?” welp, that’s a total bull shit.

Karena saat lo jatuh cinta, bakal muncul keinginan untuk memiliki dia. Seperti yang berusaha diperlihatkan dalam film ini, sepenuh apapun kebutuhan lo telah terpenuhi oleh keberadaan dia, semua itu nggak akan ada artinya kalo dia bukan milik lo.

You will never be okay without her/him.

There’s two force you can never fight in this world: Mother instinct and love.

Selain itu, secara eksplisit, film ini bilang bahwa dalam seluruh kehidupan lo. Lo akan menemukan banyak cinta, lo akan jatuh cinta beberapa kali, but there can only be one perfect love.. dan lo nggak bakal tau cinta yang itu buat siapa atau ke orang yang kayak apa. Tapi dari film ini, cinta yang sempurna itu akan membuat lo meninggalkan apapun yang lo punya supaya lo bisa bersama dia.

 

Love is consuming.

 

Saat lo cinta sama orang itu, apapun nggak akan pernah cukup. Nggak pernah cukup ketemu, nggak pernah cukup ngobrol, nggak pernah cukup menghabiskan waktu bareng, dan lain sebagainya.

Permasalahannya, kita nggak bisa milih mau jatuh cinta sama siapa dan kapan lo akan ketemu sama dia. Dan terkadang, lo juga nggak bisa memaksakan keadaan kalau eventually, lo nggak akan bisa bersama.

Gue Cinta Film, Apalagi Sutradaranya!

“Good movies reminds me that movies are better than having a wet dream” – Joko Anwar, Sutradara, Ex-Kritikus film, Penggemar Film

 

Gue adalah penggemar film. Gue sangat gemar menonton dan mencintai film. Film pertama favorit gue adalah Parents Trap (1998) yang dimainkan oleh Lindsay Lohan kecil. Gue suka film-film Princess Disney, gue bahkan nonton film Julie Andrews yang cetar membahana saat itu The Sound Of Music dan menonton berulang kali film The Wizard of Oz (1939). Saat gue beranjak dewasa, gue menggemari musik, yep gue dulu adalah anak nongkrong MTV. Pada tahun 2000-an ke belakang musik bebas dari auto-tuned: music is music, you play drums, guitar, bass, piano and you sing. Kejayaan MTV memunculkan industri kreatif baru di bidang musik video. Berkat MTV, jadi banyak bermunculan sutradara video musik. Misalnya, dulu sebelum Rizal Mantovani (Jelangkung), Dimas Jay (Quickie Express), Spike Jonze (Being John Malkovich), dan David Fincher (Fight Club) jadi sutradara film, mereka adalah sutradara laris video musik.

Semakin gue beranjak dewasa, disaat inilah gue ngerasa Film Indonesia sudah mulai berwarna dengan kehadiran Joko Anwar, Monty Tiwa dan Mo Brothers yang hingga sekarang masih bisa menyajikan sesuatu yang berbeda dan berkat mereka juga gue jadi suka film gore (film sadis)! Haha. Gue mulai mengeksplor berbagai film yang kurang mainstream, seperti film-film festival/ film-film indie khususnya film-film Perancis dan Jepang. Setelah nonton film-film yang agak nyeleneh itu, gue jadi banyak mikir bahwa sebenernya film itu nggak cuma sekedar menyampaikan pesan, namun segala tetek bengek seperti skenario, bobot dialog dan plot. Ada film yang benar-benar pure seni kayak film Eraser Head karya David Lynch, yang sampe gue botak permanen juga gak bakal ngerti apa sebenernya makna dari film ini, selain itu ada film Mr. Nobody arahan Jaco Van Dormael, film ini adalah film yang bikin gue pusing setengah mati karena plot yang lompat-lompat dari satu dimensi ke dimensi lain, banyaknya tokoh, dan scene-scene yang absurd/ surreal meskipun sinematografinya bagus.

Buat gue sutradara itu bagai pelukis, setiap cerita, plot, senimatografi dan dialog pasti punya ciri khas yang amat sangat berbeda. Misalnya Woody Allen yang neurotic itu pasti selalu menghadirkan tokoh yang depresi karena cinta atau desperate to be in love, Chris Nolan yang selalu menghadirkan ending atau plot yang ngetwist, Quentin Tarantino yang selalu menghadirkan karakter yang seolah-olah muncul dari buku komik dan menggabungkan antara imajenasi, gore dan jokes yang menggelitik, cabulnya film-film Stanley Kubrick, atau James Wan yang bisa meneror penonton dengan hal-hal yang sederhana seperti baby walker atau sekedar tepukan tangan.. hiiiy!. Menurut gue saat lo bisa mewujudkan ide lo secara visual itu nggak gampang, apalagi saat filmnya hanya berisi dialog dengan beberapa tokoh dan bersetting di satu tempat aja seperti film 12 Angry Men, Carnage atau Exam.

Namun, seahli apapun seorang sutradara, filmnya nggak akan jadi apa-apa tanpa aktor-aktor yang tepat, yes, proses casting itu penting banget, karena disinilah tolak ukur apakah film ini bakal diinget atau nggak. Contoh, buat gue kalo bukan Jennifer Lawrence yang jadi Katniss Everdeen, entah apa jadinya itu Hunger Games, mungkin nggak akan beda jauh dengan Twilight yang semakin lama semakin bikin gue eneg, no hard feeling buat fans Twilight ya, gue sebenernya suka banget film pertama Twilight karena Indie dan disutradarai oleh sutradara Indie; Catherine Hardwicke (Thirteen), original soundtracknya buat gue udah bagus, dengan jadi sederhana Twilight itu udah keren, tapi semenjak jadi komersil dan ditambah emang novelnya juga semakin lama malah semakin cupu, ya jadilah begitu. Atau betapa ikoniknya Uma Thurman di Kill Bill, Marlon Brando di The Godfather, Christoph Waltz di Inglourius Basterds, dan lain-lain.

Setelah itu, ada sinematografi (sintog); visualisasi dari sebuah film. Nah disinilah lo bisa melihat preferensi sang sutradara. Karena gue juga suka lukisan, terkadang gue menganalogikan sintog khas sutradara dengan pelukis. Misalnya, kebanyakan film Lars Von Trier (Melancholia) itu indah dan melankolis macam lukisan Claude Monet dan Woody Allen yang mellow nan romantis macam Vincent Van Gogh. Disinilah poin dimana mata lo akan dimanjakan oleh visualisasi film. Meskipun nggak semua visualisasinya indah sih, tergantung pesan yang ingin disampaikan dari film itu sendiri.

Terus ada scoring yaitu musik yang mengiringi adegan tertentu, misalnya nih ada adegan dimana si cowok diputusin pacarnya ditengah hujan deras yang bisanya diiringi dengan musik mellow bin galau dari alunan biola atau piano, inilah scoring. Gue pernah nonton The Bicycle Thief, dari awal film sekitar 20 menit musik sedih yang menyayat hati dimainkan, all the way through agar suasana kemiskinan pasca peperangan dapat dibangun dengan baik.

Sebenernya, menurut gue saat lo ingin menikmati sebuah film, lo mesti memperhatikan beberapa hal supaya lo nggak kecewa karena ekspektasi yang berlebihan. Pertama, jangan sampe kena spoiler (orang yang suka ngebocorin jalan cerita), ini gue nggak suka banget karena gue suka elemen kejutan dari film. Kedua, lo mesti sadar betul film yang akan lo tonton itu bergenre apa, kalo ternyata film action-martial art maka jangan terlalu berharap dengan alur cerita atau dialog berbobot yang ada di dalamnya, banyak orang yang ketipu ngira kalo The Godfather adalah film action, wrong, meskipun itu film tentang mafia dan gangster tapi itu adalah film pure drama. Ketiga, jangan percaya rekomendasi orang lain, selama ini gue suka review film yang terkadang nggak cocok dengan selera orang lain karena untuk sekarang gue lagi suka film non-hollywood, sama kayak IMDB, belum tentu rating yang tinggi berarti film itu bagus buat lo, ada lho beberapa orang yang ngeliat The Shawshank Redemption (rating tertinggi di IMDB) itu ngebosenin banget (dan gue saranin jangan sekali-kali ngejelekin film ini di forum-forum macem ka*kus, percaya deh lo bakal di bully sama film snobs disitu). Keempat, film yang bertaburan aktor-aktor ternama belum tentu film yang bagus; the Big Wedding, Valentines Day, dan beberapa omnibus lainnya. Kelima, pilih dan tonton film-film yang bener-bener menarik buat lo, baca sinopsis/ nonton trailer, tapi jangan kebanyakan baca spoiler atau komen-komen di forum sosial media, nanti malah nggak terasa lagi excitment-nya.

Gue menggemari film karena buat gue film itu menginspirasi. Semakin realistis sebuah film maka semakin ia menyentuh kehidupan penontonnya macam Before Trilogy yang mengcapture relationship antara dua kekasih yang menurut gue sangat sempurna, atau Life is Beautiful yang mengajarkan gue kasih sayang seorang ayah. Well, apapun itu sutradara-sutradara di atas telah mengubah cara gue berfikir dan memberi gue banyak imajenasi, malah dalam beberapa kasus film bisa mengubah seseorang ke arah yang lebih baik.

Udah ah, segitu dulu. Jadi gimana, sutradara itu seksi kan?