Burning (2018): Amarah, Ambiguitas dan Subjektivitas Realita
Burning (2018) adalah film pertama Lee Chang-Dong yang saya tonton. Berangkat dari ulasan berbagai film influencer dan orang-orang yang saya ikuti di Twitter dan hanya berbekal membaca secuil sinopsis, jadilah saya menonton film berdurasi 148 menit tersebut.
Sinopsis:
Jong-soo runs into Hae-mi, a girl who once lived in his neighborhood, and she asks him to watch her cat while she’s out of town. When she returns, she introduces him to Ben, a man she met on the trip. Ben proceeds to tell Jong-soo about his hobby.
Premis yang sederhana dan durasi yang panjang ini sejujurnya membuat saya merasa bosan. Film misteri ini berlangsung sangat lamban, dari pertemuan Jong-soo & Hae-mi, lalu bertemu Ben dan saat Ben menceritakan hobinya terjadi dalam interval yang panjang. Selain itu ketiga tokoh utama juga tidak terlalu berkesan, terlalu commoners. Termasuk Ben yang anak orang kaya dengan segala hidup gemerlapnya, namun gerak geriknya lebih terlihat seperti karakter Christian Bale di film American Psycho.
Namun disitulah saya salah.
Film Lee Chang-Dong ternyata memang terbiasa untuk mengangkat karakter-karakter commoners dan lebih bermain dengan apa yang karakter tersebut rasakan melalui pengalamannya mengarungi berbagai konflik.
Film ini merupakan film misteri yang sesungguhnya. Jika kamu sudah pernah nonton film Memories of Murder (2003) ya kurang lebih endingnya sama, kamu tidak akan pernah tahu siapa pembunuhnya karena bukan itu inti yang ingin disampaikan.
Saya harus bilang, bahwa ketiga karakter ini adalah salah satu gambaran paling relevan dengan generasi saat ini. Sejak kecil kita dininabobokan dengan mimpi tentang arti kesuksesan adalah dengan dengan mempunyai banyak uang dan mempunyai mobil dan rumah, seperti Ben. Perbedaannya Ben terlahir dengan segala privilegenya sebagai anak orang kaya, hal ini tentu saja tidak terjadi pada dua karakter utama lainnya. Mereka harus berusaha hidup dari satu kerja serabutan, ke kerja serabutan lainnya demi memenuhi mimpinya, seperti Hae-mi, yang berhasil menabung (dan tentunya berhutang sana-sini) untuk melakukan operasi plastik & traveling ke Afrika dimana Ia bertemu Ben dan meninggalkan Jong-soo dalam kondisi relationship yang sama ambigunya seperti hubungannya dengan Ben.
Awalnya, relantioship ambigu yang tersirat di antara ketiga karakter ini hanya sebatas kecemburuan sosial & status ekonomi saja. Namun, saat Hae-mi menghilang tanpa jejak kecemburuan ini justru berubah menjadi konflik & obsesi yang semakin menajam hingga klimaks pada akhir film.
***
Beberapa waktu lalu, sosial media sempat ramai dengan viralnya komik strip yang dibuat oleh Toby Morris yang bisa dibaca di sini . Intinya, komik ini memicu perdebatan bahwa jika hidup diibaratkan lari marathon, orang-orang seperti Richard sudah terlahir di setengah bahkan di dekat garis finish bernama kesuksesan. Berbeda seperti Paula yang harus bekerja keras sekedar untuk menyambung hidup.
Semakin bergulirnya opini tentang komik strip tersebut. Saya semakin memahami bahwa realitas setiap orang berbeda-beda (subjektif). Sampai kapanpun, Ben tidak akan pernah memahami bagaimana orang-orang seperti Hae-Mi dan Jung-Soo bertahan hidup kerja keras dengan kerja serabutan. Bagi Ben (mungkin) menjadi suksesor bisnis warisan orangtua dan membuat bisnis tersebut tetap sukses adalah hasil kerja kerasnya selama ini, dan (mungkin) Hae-Mi dan Jung-soo merasa bahwa menjadi suksesor bisnis adalah pekerjaan yang dirasa gampang.
Pengalaman hidup yang berbeda menjadikan ketiga tokoh ini mempunyai pandangan yang berbeda, bagaimana tidak? kata kerja keras saja sudah subjektif. Namun, privilege memang bukan dongeng belaka. Semakin banyak uang yang kita punya, maka akses untuk hal-hal krusial seperti kesehatan dan pendidikan akan semakin mudah. Wajar sekiranya orang-orang seperti Hae-Mi dan Jung-Soo cemburu dengan Ben yang bisa hidup seimbang antara bekerja, berpesta & hidup sehat, sedangkan mereka? Mungkin pergi ke gym saja sudah termasuk kategori membuang-buang uang.
Dalam film tersebut, Lee Chang Dong sepertinya ingin mendorong kecemburuan sosial dan hidup dalam ambiguitas ke titik paling ekstrim, hingga manusia hilang akal. Subyektifnya realita yang dialami para tokoh membuat ketiganya tidak akan pernah mengerti satu sama lain, hal ini dipertajam dengan ambiguitas yang terjadi disepanjang film. Bagi banyak orang waras, hidup dalam ambiguitas sama saja hidup dalam ketidakpastian, tidak punya jawaban pasti terhadap apapun seperti yang dialami Jung-Soo. Kecemburuan dan ambiguitas inilah yang pada akhirnya menjadi bensin dan membakar amarah Jung-Soo yang selama ini terpendam.
***
Lalu, apakah film Burning relevan dengan apa yang terjadi saat ini? Tentunya. Jika diperhatikan, banyak sekali pemimpin yang berambisi untuk berkuasa dan pada akhirnya mempolarisasi rakyat untuk mencapai tujuan: munculnya gerakan extreme right wing yang kental dengan nilai-nilai white supremacy, gerakan antifa (anti facist) sebagai jawaban extreme leftist yang sama-sama menggunakan kekerasan, referendum Brexit yang didasari prasangka, dan kampanye diskriminatif yang menjadikan agama sebagai landasan kebencian terhadap sesama. Hal ini membuat kubu tengah tidak lagi populer, bahkan menjadi sasaran kebencian dari dua polar.
Dikarenakan privilege dan subyektivitas realita yang berbeda, kecemburuan golongan yang mempunyai kesamaan tertentu menjadi mudah dibolak-balik sesuai apa yang mereka mau dengan tujuan yang sama: membangun kebencian, menjadikannya amarah dan membuat orang tidak lagi bisa berpikir waras, hanya karena pengalamannya terhadap sesuatu berbeda dengan orang lain sehingga menjadikan hal tersebut fakta yang valid dan lantas dengan mudahnya memaki ‘goblok’ & ‘dungu’ terhadap orang asing di dunia jejaring sosial dunia maya.