“Good movies reminds me that movies are better than having a wet dream” – Joko Anwar, Sutradara, Ex-Kritikus film, Penggemar Film
Gue adalah penggemar film. Gue sangat gemar menonton dan mencintai film. Film pertama favorit gue adalah Parents Trap (1998) yang dimainkan oleh Lindsay Lohan kecil. Gue suka film-film Princess Disney, gue bahkan nonton film Julie Andrews yang cetar membahana saat itu The Sound Of Music dan menonton berulang kali film The Wizard of Oz (1939). Saat gue beranjak dewasa, gue menggemari musik, yep gue dulu adalah anak nongkrong MTV. Pada tahun 2000-an ke belakang musik bebas dari auto-tuned: music is music, you play drums, guitar, bass, piano and you sing. Kejayaan MTV memunculkan industri kreatif baru di bidang musik video. Berkat MTV, jadi banyak bermunculan sutradara video musik. Misalnya, dulu sebelum Rizal Mantovani (Jelangkung), Dimas Jay (Quickie Express), Spike Jonze (Being John Malkovich), dan David Fincher (Fight Club) jadi sutradara film, mereka adalah sutradara laris video musik.
Semakin gue beranjak dewasa, disaat inilah gue ngerasa Film Indonesia sudah mulai berwarna dengan kehadiran Joko Anwar, Monty Tiwa dan Mo Brothers yang hingga sekarang masih bisa menyajikan sesuatu yang berbeda dan berkat mereka juga gue jadi suka film gore (film sadis)! Haha. Gue mulai mengeksplor berbagai film yang kurang mainstream, seperti film-film festival/ film-film indie khususnya film-film Perancis dan Jepang. Setelah nonton film-film yang agak nyeleneh itu, gue jadi banyak mikir bahwa sebenernya film itu nggak cuma sekedar menyampaikan pesan, namun segala tetek bengek seperti skenario, bobot dialog dan plot. Ada film yang benar-benar pure seni kayak film Eraser Head karya David Lynch, yang sampe gue botak permanen juga gak bakal ngerti apa sebenernya makna dari film ini, selain itu ada film Mr. Nobody arahan Jaco Van Dormael, film ini adalah film yang bikin gue pusing setengah mati karena plot yang lompat-lompat dari satu dimensi ke dimensi lain, banyaknya tokoh, dan scene-scene yang absurd/ surreal meskipun sinematografinya bagus.
Buat gue sutradara itu bagai pelukis, setiap cerita, plot, senimatografi dan dialog pasti punya ciri khas yang amat sangat berbeda. Misalnya Woody Allen yang neurotic itu pasti selalu menghadirkan tokoh yang depresi karena cinta atau desperate to be in love, Chris Nolan yang selalu menghadirkan ending atau plot yang ngetwist, Quentin Tarantino yang selalu menghadirkan karakter yang seolah-olah muncul dari buku komik dan menggabungkan antara imajenasi, gore dan jokes yang menggelitik, cabulnya film-film Stanley Kubrick, atau James Wan yang bisa meneror penonton dengan hal-hal yang sederhana seperti baby walker atau sekedar tepukan tangan.. hiiiy!. Menurut gue saat lo bisa mewujudkan ide lo secara visual itu nggak gampang, apalagi saat filmnya hanya berisi dialog dengan beberapa tokoh dan bersetting di satu tempat aja seperti film 12 Angry Men, Carnage atau Exam.
Namun, seahli apapun seorang sutradara, filmnya nggak akan jadi apa-apa tanpa aktor-aktor yang tepat, yes, proses casting itu penting banget, karena disinilah tolak ukur apakah film ini bakal diinget atau nggak. Contoh, buat gue kalo bukan Jennifer Lawrence yang jadi Katniss Everdeen, entah apa jadinya itu Hunger Games, mungkin nggak akan beda jauh dengan Twilight yang semakin lama semakin bikin gue eneg, no hard feeling buat fans Twilight ya, gue sebenernya suka banget film pertama Twilight karena Indie dan disutradarai oleh sutradara Indie; Catherine Hardwicke (Thirteen), original soundtracknya buat gue udah bagus, dengan jadi sederhana Twilight itu udah keren, tapi semenjak jadi komersil dan ditambah emang novelnya juga semakin lama malah semakin cupu, ya jadilah begitu. Atau betapa ikoniknya Uma Thurman di Kill Bill, Marlon Brando di The Godfather, Christoph Waltz di Inglourius Basterds, dan lain-lain.
Setelah itu, ada sinematografi (sintog); visualisasi dari sebuah film. Nah disinilah lo bisa melihat preferensi sang sutradara. Karena gue juga suka lukisan, terkadang gue menganalogikan sintog khas sutradara dengan pelukis. Misalnya, kebanyakan film Lars Von Trier (Melancholia) itu indah dan melankolis macam lukisan Claude Monet dan Woody Allen yang mellow nan romantis macam Vincent Van Gogh. Disinilah poin dimana mata lo akan dimanjakan oleh visualisasi film. Meskipun nggak semua visualisasinya indah sih, tergantung pesan yang ingin disampaikan dari film itu sendiri.
Terus ada scoring yaitu musik yang mengiringi adegan tertentu, misalnya nih ada adegan dimana si cowok diputusin pacarnya ditengah hujan deras yang bisanya diiringi dengan musik mellow bin galau dari alunan biola atau piano, inilah scoring. Gue pernah nonton The Bicycle Thief, dari awal film sekitar 20 menit musik sedih yang menyayat hati dimainkan, all the way through agar suasana kemiskinan pasca peperangan dapat dibangun dengan baik.
Sebenernya, menurut gue saat lo ingin menikmati sebuah film, lo mesti memperhatikan beberapa hal supaya lo nggak kecewa karena ekspektasi yang berlebihan. Pertama, jangan sampe kena spoiler (orang yang suka ngebocorin jalan cerita), ini gue nggak suka banget karena gue suka elemen kejutan dari film. Kedua, lo mesti sadar betul film yang akan lo tonton itu bergenre apa, kalo ternyata film action-martial art maka jangan terlalu berharap dengan alur cerita atau dialog berbobot yang ada di dalamnya, banyak orang yang ketipu ngira kalo The Godfather adalah film action, wrong, meskipun itu film tentang mafia dan gangster tapi itu adalah film pure drama. Ketiga, jangan percaya rekomendasi orang lain, selama ini gue suka review film yang terkadang nggak cocok dengan selera orang lain karena untuk sekarang gue lagi suka film non-hollywood, sama kayak IMDB, belum tentu rating yang tinggi berarti film itu bagus buat lo, ada lho beberapa orang yang ngeliat The Shawshank Redemption (rating tertinggi di IMDB) itu ngebosenin banget (dan gue saranin jangan sekali-kali ngejelekin film ini di forum-forum macem ka*kus, percaya deh lo bakal di bully sama film snobs disitu). Keempat, film yang bertaburan aktor-aktor ternama belum tentu film yang bagus; the Big Wedding, Valentines Day, dan beberapa omnibus lainnya. Kelima, pilih dan tonton film-film yang bener-bener menarik buat lo, baca sinopsis/ nonton trailer, tapi jangan kebanyakan baca spoiler atau komen-komen di forum sosial media, nanti malah nggak terasa lagi excitment-nya.
Gue menggemari film karena buat gue film itu menginspirasi. Semakin realistis sebuah film maka semakin ia menyentuh kehidupan penontonnya macam Before Trilogy yang mengcapture relationship antara dua kekasih yang menurut gue sangat sempurna, atau Life is Beautiful yang mengajarkan gue kasih sayang seorang ayah. Well, apapun itu sutradara-sutradara di atas telah mengubah cara gue berfikir dan memberi gue banyak imajenasi, malah dalam beberapa kasus film bisa mengubah seseorang ke arah yang lebih baik.
Udah ah, segitu dulu. Jadi gimana, sutradara itu seksi kan?