Belajar Parenting dari Film

Mama selalu menekankan petingnya pendidikan, bukan tentang meraih pendidikan setinggi-tingginya, namun agar anak-anaknya tidak mudah dibodohi orang-orang berkepentingan jahat.

Mama yang berprofesi sebagai guru pun hampir tidak pernah absen curhat mengenai sistem pendidikan di Indonesia yang secara umum pasti sudah paham bagaimana jeleknya. Garis besar dari semua curhatan Mama yang saya tangkap selama ini adalah banyaknya orangtua yang berfikir bahwa pendidikan adalah sekolah formal atau homeschooling dengan tutor handal. Walaupun itu nggak sepenuhnya salah, tapi menurut saya pendidikan paling utama datang dari orangtua.

Saya juga bukan anak dari hasil produksi parenting 24/7, orangtua saya bekerja. Untungnya, saat saya kecil masih banyak tanah lapang, sawah, tayangan anak-anak yang menyenangkan, buku-buku cerita bergambar dan guru mengaji yang baik.

Sebagai calon orangtua, saya juga mempunyai kekhawatiran tersendiri tentang bagaimana membesarkan anak saya nanti. Akan menjadi manusia seperti apa dia?.

Karena saya termasuk orang yang masih malas membaca buku parenting, saya belajar mengenai parenting melalui film. Nggak semua film sih, cuma kalau kebetulan pas nonton film terus ternyata tentang parenting. Sejauh ini, bagi saya ada 2 film paling mengena tentang parenting; The Little Prince dan Captain Fantastic.

Saya masih ingat ketika nonton The Little Prince di bioskop dan menangis tersedu-sedu karena teringat mendiang Akung dan tersadar bagaimana saya melupakan cita-cita saya semasa kecil; menjadi polisi hutan dan pengurus konservasi binatang langka.

Film The Little Prince yang diangkat dari buku karya Antoine de Saint  Exupery ini berhasil mengajarkan saya untuk memahami cita-cita anak-anak, kalau misalnya saya punya anak laki-laki yang bercita-cita menjadi penari balet dan bersungguh-sungguh, kenapa harus saya hentikan hanya karena menari identik dengan perempuan?.

Begitu juga dengan film Captain Fantastic yang sangat amat membuka pikiran saya tentang membesarkan anak. Di film ini, anak-anak si tokoh utama yang masih berumur 8 – 16 tahun sudah hafal bill of rights, mengerti bagaimana politik bekerja (bahwa negaranya dikuasai oleh para pelobby), sudah mahfum mengenai ajaran Karl Marx dan merayakan hari Noam Chomsky dibandingkan hari natal.

Awalnya saya juga mengira itu hanya bisa terjadi dalam film, tapi ternyata nggak juga. Selama kita menganggap sang anak mampu, cerdas dan didukung orangtua yang disiplin dan sabar menuntun, saya yakin bisa.

Di film ini saya belajar tentang pentingnya kejujuran orangtua kepada anak. Dalam sebuah adegan, salah seorang anak dari tokoh utama bertanya:

“Ayah, apa itu pemerkosaan?”

Si Ayah pun menjawab dengan apa adanya, bahwa pemerkosaan adalah tindakan paksa untuk melakukan seks oleh seseorang (yang biasanya dilakukan oleh laki-laki) kepada orang lain (yang biasanya adalah perempuan)

“Apa itu seks?”

“its when a man sticks his penis into woman’s vagina”

“eeew!”

Seorang anak akan terus bertanya mengenai hal yang ingin ia ketahui sampai ia mengerti. Disinilah saya sadar bahwa kita dibesarkan dalam dogma bahwa anak kecil itu nggak boleh tahu apa-apa sebelum umurnya. Saya fikir, nggak ada salahnya bersikap jujur apa adanya terhadap anak, mereka berhak tau apa yang terjadi di kehidupan nyata. Misalnya kenyataan bahwa Ibu Peri di kisah Cinderella itu tidak nyata. Tidak pernah ada yang namanya Ibu Peri atau Cinderella, itu adalah kisah yang dibuat oleh seseorang untuk membuatmu berpikir bahwa perempuan tidak akan bisa menjadi apa-apa tanpa laki-laki tampan nan kaya sebagai suaminya.

Dari dua film tersebut, saya belajar 3 hal:

  1. Jangan pernah menertawakan cita-cita anakmu
  2. Jangan pernah menjadi penghalang bagi cita-citanya
  3. Jangan pernah menganggap anak-anak bodoh yang tidak boleh tahu kehidupan nyata

Mama selalu bilang “anakmu bukanlan anakmu” kutipan Khalil Gibran ini mempunyai makna bahwa walupun dia anakmu, tapi dia bukan milikmu. Dia adalah dirinya, menempel padanya kepribadian dan cara berpikirnya sendiri. Besarkanlah dirinya menjadi pribadi unik yang bisa berpikir kritis dan independen. Jangan mendikte dirinya, apalagi kehidupannya. Orangtua mengajarkan yang baik-baik dan mengarahkan, tapi hidupnya adalah miliknya bukan milik orangtuanya.

Mau sekolah jauh ke Jerman atau menjadi relawan kemanusiaan di Namibia, biarkanlah mereka terbang.

the-little-prince

 

Oleh Mar,

yang belum punya anak dan belum berencana punya.

Leave a comment